KH. Cholil Ridwan: Demokrasi & Pancasila sebagai Tumpangan Sementara
Jakarta (voa-islam) – Untuk sementara ini, umat Islam bisa memanfaatkan “perahu” demokrasi dan Pancasila untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memberlakukan syariat Islam. Jika sudah sampai ke tempat yang dituju, Pancasila dan Demokrasi dapat kita tanggalkan dan menggantinya dengan hukum Islam.Demikian dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Seni dan Budaya KH. Cholil Ridwan, Lc ketika dijumpai di Gedung Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), Jakarta, belum lama ini.
Menurut Kiai Cholil, diibaratkan, umat Islam saat ini seperti menumpangi perahu yang namanya demokrasi dan Pancasila. Jika umat Islam memaksakan diri berenang di tengah arus yang deras, sementara di muara sana begitu banyak buaya.
Nah, untuk bisa selamat dan sampai ke tempat yang dituju, hendaknya memanfaatkan perahu yang ada. Untuk sementara, kita tumpangi perahu demokrasi dan Pancasila sebagai kendaraan untuk sampai ke tujuan. Jika sudah sampai, perahu demokrasi dan pancasila bisa kita tanggalkan.
“Jadi kita manfaatkan saja kendaraan itu. Anggaplah Pancasila itu sebagai sebuah kendaraan. Kalau orang kiri saja boleh memperjuangkan negara komunisme, orang liberal memperjuangkan negara sekuler dan liberalisme, kenapa umat Islam tidak boleh memperjuangkan negara Islam?” tanya kiai.
Dikatakan KH. Cholil, yang tidak berhukum selain hukum Allah, maka kafir. Namun, tidak bisa juga dipaksakan Indonesia harus menggunakan label negara Islam. Negara dalam bentuk apapun, asal syariat Islam diberlakukan, itu sudah selesai. “Esensinya kita sependapat dengan pendiri NII Kartosuwiryo, tapi kita tidak menggunakan ikon negara Islam. Model negaranya bisa apa saja, asal hukumnya diberlakulan syariat Islam,” tegasnya.
Menurut KH. Cholil, kalau kita sudah menerima lembaga bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, bahkan hotel syariah, maka kata syariah sebetulnya pengganti dari kata Islam. Kalau di Barat disebut Islamic Development Bank, di Indonesia dikenal dengan bank syariah,” ujarnya.
Kenapa banyak pihak begitu paranoid ketika umat Islam bicara negara Islam? Boleh jadi, ada semacam traumatic sejarah di masa lalu. Seperti munculnya DI/TII atau NII. Sehingga, ada stigma, Islam kerap dijadikan momok dan ancaman.
Bicara negara Islam, lanjut KH. Cholil, dilihat dari literatur klasik di zaman nabi dan para sahabat, sebetulnya tidak ada yang namanya daulah Islamiyah, yang ada adalah negara yang memberlakukan syariah Islam atau hukum Al Quran. Jika diterapkan di Indonesia, maka bentuknya tetap NKRI, tapi memberlakukan syariah Islam. Adapun syariah Islam itu meliputi: dunia perbankan, asuransi, ekonomi dan sebagainya.
“Jika ekonomi sudah kita terima, maka selangkah lagi kita akan menuju negara syariah, semua hukumnya harus disesuaikan dengan Al Qur’an dan as-Sunnah. Atau istilahnya, mengqanun hukum sesuai dengan syariat Islam.”
Kalau kita menggunakan kata Negara Islam, tak dipungkiri banyak pihak yang tidak senang. Buktinya, NII Kartosuwiryo sudah dibusukkan oleh munculnya NII KW 9. “Jelas ini bentuk pembusukan terhadap negara Islam, seolah negara Islam itu jelek, suka menipu, memeras orang dan perbuatan kriminal lainnya.
Umat Islam Harus Bersatu
Yang harus dilakukan umat Islam sekarang adalah merapatkan barisan, bersatu untuk merebut kekuasaan tanpa pertumpahan darah, tanpa senjata, dan tanpa bom. “Bila kita sudah bersatu, maka kita dapat memberlakukan hukum Islam. Terpenting semua kelompok umat Islam harus rujuk. Kongkritnya, bisa dimulai dengan kembalinya umat Islam ke masjid, tidak hanya ritual ibadah yang bersifat ubudiah, tapi juga bermuamalah di segala sector kehidupan, baik ekonomi, politik, seni maupun budaya.”
Kekalahan umat Islam, kata KH. Cholil, dikarenakan, tidak bersatu dan menjauh dari masjid. Kuncinya adalah satu dalam jamaah. Untuk itu diperlukan majelis syuro yang memayungi semua partai Islam dan kelompok Islam. “Sangat disayangkan, sudah jelas kalah, tapi tidak mau bersatu. Terpenting, harus ada payungnya dari tokoh-tokoh yang punya pengaruhi secara nasional.”
Kegagalan sejarah dengan dicabutnya tujuh kata Piagam Jakarta, adalah karena kegagalan siasah politik umat Islam. Kekalahan itu tidak boleh diulangi. Dulu umat Islam bersatu untuk membuat rumusan UUD, lalu kalah. Karena itu umat Islam jangan mau lagi dibohongi dan diprovokasi. “Itu bagian dari masa lalu, ke depan, umat Islam harus menjadi pemenang.”
Dikatakan KH. Cholil, kita akan terus berjuang sampai pertolongan Allah datang. Kemenangan umat Islam, bukan ditentukan oleh besarnya umat ini, tapi karena sikap istiqomah, keikhlasan, dan berpasrah diri kepada Allah Swt.
“Dalam sebuah perjuangan, tidak ada bayi yang lahir tanpa darah. Kalau diplomasi sudah deadlock, dan negeri ini ditakdirkan berdarah-darah, lalu terjadi perang fisik, maka bertawakallah kepada Allah, berlarilah kamu menuju Allah, baik berdua ataupun sendiri-sendiri. Terpenting adalah istiqomah kita dalam berjuang. Itu yang penting,” ungkap KH. Cholil Ridwan optimis. Desastian
sumber: voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar